Oleh Made Nariana
BERITA viral seminggu belakangan ini, tiada lain Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kejati Bali terhadap Bendesa Adat Berawa, Kuta Utara, Badung. Ia kena OTT di sebuah Kafe di Kawasan Renon Denpasar, ketika bertemu dengan seorang investor (pembeli tanah). Konon Bendesa Adat yang mestinya dibanggakan warga adat tersebut, memeras sampai 10 milyar rupiah kepada pembeli lahan di daerahnya.
Pertanyaan saya terhadap kasus ini, dari segi hukum nasional, apa wajar seorang Bendesa Adat terkait dengan jual-beli tanah? Apa masuk akal Bendesa Adat ikut cawe-cawe urusan investor yang ingin membeli tanah? Rasanya kurang (tidak) wajar, kecuali ia sebagai calo secara pribadi. Tentu salah jika ia mengatasnamakan Desa Adatnya untuk menipu pembeli tanah atau investor di daerahnya.
Logikanya urusan jual – beli tanah atau urusan investor tentu dengan aparat dinas. Atau dengan Notaris!. Bendesa Adat memiliki kewajiban mengurus persoalan agama, budaya dan adat istiadat di wilayahnya. Bukan memperlancar urusan jual-beli tanah, apalagi dengan meminta bayaran sampai 10 milyar rupiah!
Saya tidak mengerti mengapa seorang Bendesa Adat dapat memperdaya seorang pembeli tanah? Apakah pembeli tanahnya yang kurang paham? Bukankah ia dapat konsultasi dengan aparat dinas atau dengan Notaris?
Setahu saya, Bendesa Adat di daerah saya tidak pernah ikut campur dengan jual-beli tanah di daerahnya. Klian dinas atau Kepala Desa yang lebih tahu. Kalau waktunya membangun, memang Bendesa Adat banyak sedikitnya ikut memberikan arahan karena ada sejumlah awig-awig Desa Adat yang mungkin dibuat untuk sebuah investasi yang akan dilakukan di daerah tersebut. Awig-awig (hukum adat) itu pun tidak boleh bertentangan dengan hukum formal yang berlaku atau yang diberlakukan negara.
Kalau benar bahwa Bendesa Adat Berawa tersebut sampai meminta 10 milyar rupiah kepada pembeli tanah (investor) memang keterlaluan.
Selain menyalahi aturan, ia juga boleh dikaitkan dengan menghambat investasi yang diperlukan Bali sebagai destinasi wisata. Pemerintah Bali wajib mengundang investor ke Bali, ikut membangun Bali. (Bukan hanya membangun di Bali tetapi hasilnya diboyong ke luar Bali). Tetapi ikut membangun Bali, ikut membina dan memelihara budaya Bali, ikut mengembangkan adat istiadat dan Desa Adat — sebab inilah yang menjadi tulang punggung pariwisata budaya Bali.
Kita harus memberikan dukungan kepada penegak hukum membersihkan tingkah polah aparat desa adat atau desa dinas, jika ada yang melanggar hukum adat maupun hukum negara.
Sebaliknya investor atau setiap orang yang ingin melakukan investasi di Bali, lebih banyak mencaritahu, kemana semestinya berurusan, jika hendak ikut membangun Bali. Banyak sumber dapat diajak konsultasi, seperti Notaris, Kepala Desa, aparat hukum dan juga konsultan lainnya.
Tentu dengan catatan semua pihak juga harus transparan dan terbuka, jujur sehingga tidak sampai melanggar hukum. Jika hanya sekadar dapat komisi atau mencari komisi yang wajar, saya kira boleh-boleh saja.
Kalau sampai membuat kesan memeras, mempersulit urusan atau izin — memang sangat keterlaluan. Jangan selalu birokrasi menggunakan budaya: “Kalau memang dapat dipersulit kenapa mesti dipermudah?” (*)