KALAU memang buku sucinya berbeda, tempat persembahyangan juga berbeda, cara dan budaya juga berbeda, patutlah Hare Krishna (HK) tidak perlu berkembang di Bali. Kebetulan juga keputusan Jaksa Agung tahun 1984 sudah melarangnya
Bendesa Agung Ida Pelinggsir Putra Sukahet mengatakan, HK memang berbeda dengan Hindu Nusantara atau Hindu (Bali). Mereka tidak menghargai adat istiadat Umat Hindu, khususnya di Bali. Juga memiliki Bagawan Githa yang berbeda, tidak mengenal “banten”, tidak mengenal korban suci seperti “mecaru” dan juga tidak mengenal piodalan di Pemerajan, Pura dan tempat suci lainnya.
Mereka melakukan kegiatan dan menggunakan apa yang disebut dengan pesraman. Laku upacaranya juga berbeda dengan Umat Hindu.
Bendesa Agung Bali mengatakan, karena itulah Majelis Desa Adat (MDA) se- Bali melarang HK melakukan kegiatan di Pura dan tempat suci Umat Hindu.
Bupati Badung Giri Prasta, juga mengharapkan semua Desa Adat di wilayahnya supaya tidak mengizinkan HK melakukan kegiatan di tempat milik umum, termasuk penggunaan tempat suci Umat Hindu. Kalau demikian halnya, urusan sudah selesai. Titik!
Leluhur kita di Bali mengembangkan Hindu berdasarkan adat-budaya yang kini terkenal di dunia. Rujukan dan pakem utama memang buku suci Begawan Githa. Tetapi adat-budaya dan kebiasaan yang masih relevan dengan zaman modern tetap dijalankan sampai sekarang.
Budaya mebat, gotong royong dalam melaksanakan upacara keagamaan, dan meyakini korban suci seperti “mecaru” dapat membersihkan lingkungan buwana alit dan buwana agung – – tetap dilaksanakan Umat Hindu di Bali. Bahkan Umat Hindu Nusantara juga melakukan hal yang sama, sekalipun dalam bentuk lain sesuai dengan “desa – kala – patra” (kondisi lingkungan mereka masing-masing).
Dalama soal mengkonsumsi makanan misalnya, bhakta HK konon vegetarian. Tidak boleh mengkonsumsi daging dan ikan. Namun sebaliknya Umat Hindu masih boleh menggunakan daging dan ikan sebagai makanan utama. Juga tetap menggunakan lawar, sate, babi guling, dan segala bentuk olahan untuk dipersembahkan kepada leluhur serta Ida Hyang Widi Wasa.
Seorang tokoh Hindu I Ketut Wiana pernah mengatakan kepada saya, Umat Hindu diperbolehkan makan apa saja sepanjang menyebabkan tubuh sehat lahir bathin. Tidak ada larangan sastra manapun menentukan tidak boleh makan ini dan itu. Kalau meminjam istilah Umat tetangga, Hindu tidak mengenal apa yang disebut dengan makanan halal dan haram. Hindu hanya mengenal makanan sehat dan tidak sehat.
“Jika suatu makanan menyebabkan sakit/alergi, tentu tidak boleh di makan. Sepanjang menyebabkan tubuh sehat silakan, santap saja. Patokannya di situ,” kata Wiana, mantan Dosen dan Pengurus PHDI Pusat asal Bualu Dua Dua itu, yang juga dikenal sebagai kamus berjalan soal sastra Hindu dan pasal-pasal Begawan Githa.
Belakangan banyak kalangan Umat Hindu “meributkan” dan memperdebatkan soal keberadaan HK di Bali. Sampai ada demo di Bajra Sandi Renon Denpasar, mempertontonkan berbagai seni budaya Bali kepada khalayak ramai. Maksudnya, : “ Inilah Bali. Inilah budayaku, dan adat istiadat kami…… Jangan diusik dengan budaya lain..”. Kira-kira begitu makna dari prosesi yang dibuat, dengan menampilkan berbagai tarian termasuk orang kerauhan, tarian barong dan rangda, topeng, serta tarian hiburan lainnya.
Di pihak lain, kalau saya ikuti di berbagai media sosial – ada juga kalangan acuh tak acuh dengan keberadaan HK. Mereka umumnya mengatakan, tidak usah bertengkar dengan sesama “nyama Bali”. Bahkan ada tokoh anggota senator dari Bali, terang-terangan mengaku bhakta HK. Tetapi di pihak lain, ia mengaku mencintai Hindu dan pulau Bali. Stres kali ya?
Silang sengkarut pikiran-pikiran seperti itu membingungkan masyarakat.
Tetapi, kalau HK dibiarkan berkembang massif di Bali suatu saat… entah 100 tahun lagi, seperti yang diungkapkan Putu Agus Setiawan akan hilang. Tidak punya taksu lagi. Bisa saja Pura dan tempat suci akan menjadi cagar budaya seperti Borobudur! Apa itu yang diinginkan?
Saya sependapat, agama Hindu, budaya dan adat istiadat Bali yang sudah saling terkait selama ini tetap dipelihara dengan baik. Landasan utamanya Buku Begawan Githa dan berbagai bentuk lontar yang masih produktif/positif.
Kalau mau menyederhanakan “babantenan” yang ada tentu tidak apa – apa juga, sebab sudah ada tuntunan dalam melaksanakan upakara dengan prinsip: “nista-madya-utama” sesuai kemampuan Umat. Silakan melakukan dengan sederhana, atau dengan sedang-sedang saja. Mereka yang mampu, mau besar-besaran juga tidak dilarang, sebab akan membantu ekonomi rakyat.
Saya melihat di India sendiri, Umat Hindu di sana juga menggunakan Pejati atau Daksina…..! [Made Nariana]