Oleh Made Nariana
TIDAK ada satu pun termasuk pengamat dan tokoh politik berkaliber yang menyangka bahwa keluarga Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan PDI Perjuangan. Hal ini justru dilakukan di ujung pemerintahan Jokowi sebagai Presiden, yang pengen meninggalkan legacy yang maha agung bagi bangsanya.
Banyak yang kecewa dengan sikap Jokowi dan anak-anaknya. Sejumlah podcast teriemuka di Indonesia, di mana selama ini selalu membela Jokowi dari bulyian, caci maki dan fitnahan kaum radikal, kini balik mencela Jokowi. Sejumlah pengamat juga demikian. Rakyat kecil banyak juga yang kecewa. Lebih-lebih kalangan PDI Perjuangan, paling kecewa berat dengan keluarga Jokowi. Konon kalangan banteng tidak lagi memperhitungkan factor Jokowi untuk memenangkan Ganjar-Machfud sebagai Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.
Kelihatan Ketua Umum PDI-P belum bersikap. Ia masih tenang melihat dan menghadapi dinamika politik, akibat membelotnya kader mereka ke capres dan partai lain.
Namun di balik itu, kalau saya ikuti pemberitaan media social (medsos) – memang ada juga yang mendukung sikap Jokowi dan anak-anaknya. Secara hukum formal, memang tidak salah seseorang pindah atau loncat sana-loncat situ – dalam mencari posisi. Politisi memang banyak dalih untuk pindah partai.
Tetapi budaya kita, etika kita, tata krama bangsa Indonesia yang justru menjadi pangkal dari hukum – tidak membenarkan jika orang lupa dengan akarnya. Hukum karma phala, apa yang kita tanam itu yang akan kita hasilkan – juga melihat bahwa; tidak baik bagi seseorang yang tidak memiliki konsistensi dalam perjuangan. Karena ini keyakinan, tentu tidak dapat dihukum, kecuali hukuman social yang akan menghakimi!
Siapa pun tahu, Jokowi dan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi tokoh seperti sekarang dibesarkan PDI Perjuangan. Tidak serta merta mereka besar dan berkuasa seperti sekarang tanpa partai politik.
Putra Nababan, salah satu senior PDI-P mengatakan, jika ada yang mengatakan, tokoh itu dipilih rakyat ya betul. Tetapi banyak sejumlah proses sebelumnya membantu. Ada system yang bergerak. Ya partai, struktur, kader dan relawan berjuang untuk mereka sehingga terpilih sebagai walikota, gubernur dan presiden. Tidak berjuang sendiri tanpa bantuan orang lain. Bahkan ada yang konon mati-matian membelanya di saat diserang pihak lain.
Kalau perjuangan seperti ini tidak dihargai (apa pun alasannya baik pribadi maupun social) – bagi yang memiliki nurani pasti akan mengingatnya. Tidak membalas bunga dengan taek…..
Saya sendiri kecewa. Selama ini Jokowi dan Gibran selalu mengatakan tegak lurus dengan partai. Tetapi mereka main dua kaki, bahkan tiga kaki memberikan dukungan buat yang lain di luar yang ditentukan partainya. Bahkan Gibran mendadak menjadi kader Golkar sebelum mundur dari PDI-P. Sangat pragmatis, ambisius pengen menjadi Wakil Presiden.
Oke, semua sudah berlalu. Saya melihat sekelas Jokowi dan sekelas Gibran, tidak memiliki ideologi yang matang. Mereka dengan mudah pindah ke ideologi lain. Berbeda dengan Ganjar Pranowo yang sebelumnya banyak dijagokan partai lain sebelum PDI-P mendeklernya sebagai Calon Presiden. Ganjar teguh dengan pendirian, karena ideologinya matang bersama PDI-P.
Pasangan Prabowo-Gibran boleh jadi menjadi pilihan kalangan tertentu. Tetapi patut diingat, track record Prabowo sudah banyak yang tahu. Selain sudah lansia, ia juga masih emosional. Pemarah dan konsep bicaranya tidak sistematis. Sebaliknya Gibran dianggap masih ingusan. Pengalaman sebagai walikota baru dua tahun. Hanya karena anak presiden ia dapat tiket khusus. Apakah Gibran akan memiliki pemikiran-pemikiran jenius dalam memimpin sebuah negara dengan penduduk sebentar lagi 300 juta jiwa? Nanti dulu! Banyak yang ragu! (*)