Oleh : Made Nariana
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, kini bukan zamannya para politisi di Indonesia menggunakan politik adu domba. Politik saling menjelekan. Politik sara (suku, agama ras, antargolongan. Juga politik saling fitnah.
Presiden mengatakan, zaman sekarang harus menggunakan politik dengan etika, politik regam jejak. Politik adu program, adu gagasan dan politik adu prestasi. “Kalau masih saja saling menjelek-jelekan, itu namanya politik sontoloyo,” kata Jokowi saya kutip dari media sosial.
Menjelang pemilu serentak 2024, para pimpinan partai memang sudah saling melempar sindiran lewat media massa. Mantan Presiden SBY misalnya, mulai curiga bahwa dalam pemilu 2024 akan ada ketidakadilan. Ia akan turun gunung…… dan seterusnya.
Lalu dijawab Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Ia mengatakan, justru di zaman SBY terjadi pemilu yang paling tidak adil. Sekjen partai ini mengatakan, saat itu banyak DPT tidak jelas, data pemilu dibumihanguskan. Data di KPU juga hilang. Akhirnya dua pimpinan KPU direkrut Partai Demokrat setelah partai itu memenangkan pemilu.
Silang pendapat itu menjadi viral di medsos-ria. Sebelumnya SBY mengatakan, ada usaha sejumlah partai supaya hanya dua pasangan calon. Menyingkirkan jago partainya AHY supaya tidak dapat maju.
Saya memahami kecurigaan SBY. Sebab ia ingin supaya putranya AHY dapat direkrut gabungan partai politik sebagai bakal Capres atau Cawapres. Gabungan parpol dapat menjagokan Capres/Cawapres, jika memiliki suara 20 persen di DPR-RI.
Kini sudah ada koalisi parpol, sekalipun masih dinamis. Partai Demokrat juga sudah menjajaki parpol lain untuk berkoalisi dengan catatan supaya AHY dapat dicalonkan sebagai Capres atau Cawapres.
Salah satu tokoh Nasdem mengatakan, menjadikan tokoh seorang calon sih gampang. Tetapi apa ia akan dapat memenangkan pemilihan Presiden? Tokoh Nasdem ini rupanya menyindir, banyak tokoh pengen maju di pilpres, tetapi elektibilitasnya rendah.
Saya ingin mengatakan, setiap parpol berhak melakukan taktik dan strategi politik. Jika dalam strategi itu, satu partai tidak diajak berkoalisi karena pertimbangan ketokohan, misi dan visi partai, ketidakcocokan program demi bangsa ini – maka jangan menyalahkan partai lain. Perlu introspeksi diri. Perlu mawas diri, mengapa parpolnya tidak diajak koalisi. Kenapa tokoh yang diajukan belum diterima. Bisa jadi karena elektibilitas rendah atau kapasitasnya belum memenuhi syarat.
Jangan belum apa-apa, sudah menyalahkan penguasa yang ada sekarang bahwa akan ada ketidakadilan dalam pemilu yang belum terjadi. Masyarakat awam saja memiliki pikiran seperti ini.
Namanya politik, wajar kekuasaan tetap akan mempertahankan kekuasaannya. Karena politik tujuan utamanya adalah merebut kekuasaan. Kalau kekuasaan itu dapat direbut dengan elegan atau dengan tidak elegan – dengan jujur atau dengan tidak jujur, maka rakyatlah yang kelak menilai.
Rakyat berdaulat akan dapat menentukan pilihannya saat pemilu. Partai Demokrat sendiri pernah memenangkan pemilu di zaman SBY dengan lonjakan suara sampai 30 persen. Mereka memenangkan hati rakyat begitu cepat naik saat itu. Namun kenapa kemudian PD langsung nyungsep seketika dalam pemilu berikutnya. Perlu dikaji kenapa kepercayaan rakyat begitu turun drastis.
Belakangan Ketua Umum PD AHY juga mengatakan, Presiden Jokowi hanya gunting pita dalam membangun negeri ini. Semua proyek yang ada, konon gagasan Bapaknya SBY. Apakah benar demikian? Saya tidak mau membandingkan bagaimana kinerja SBY dan Jokowi. Silakan cari sendiri berapa bendungan, bandara, pelabuhan, jalan tol dibangun zaman SBY dibandingkan zaman Jokowi. Di Goegle ada datanya. Saya malas menulis perbandingan itu.
Boleh jadi salah satunya — gaya politik politisi beginilah yang Jokowi sebut sebagai politik sontoloyo. Menuduh dan menjelekkan serta membandingkan tanpa data yang akurat. (*)