oleh : Made Nariana
KEBERADAAN media sosial dan media on line, memudahkan masyarakat lebih cepat mengetahui berbagai informasi. Banyak informasi apakah masalah yang buruk atau persoalan yang baik (positif), akan lebih cepat kita cermati, sehingga dapat melakukan instrospeksi diri. Atau meningkatkan hal-hal yang sudah baik, apa yang dilakukan sebelumnya.
Beberapa hari yang lalu, saya mengamati sejumlah podcast pribadi turis dalam negeri yang memuji Bali. Dua orang ibu, yang satu asal Bandung tinggal di Swiss, dan yang satu lagi ibu muda yang kalau nggak salah tinggal di Batam. Saya tidak perlu menyebut nama mereka. Semuanya pasti cantiklah.
Seorang ibu asal Bandung yang tinggal di Swiss, beberapa kali muncul di posdcast pribadinya memuji keindahan pulau Bali. Ia juga menemukan keajaiban selama libur di lobi. Suatu saat ia sakit disembuhkan seorang pemangku dukun, hanya dengan air putih. Ini yang menyebabkan ia heran dan kagum.
Ibu ini juga merasa bangga dengan masyarakat Bali yang sangat spiritual dan tekun menjalankan ajaran agama, menjalankan adat budaya dan keseniannya. Pokoknya ibu ini saya anggap sebagai juru bicara (jubir) gratis lewat media sosial. Ia mempromosikan Bali sebagai tujuan wisata terbaik di dunia. Konon ia sudah berulang kali ke Bali dengan keluarganya di Bandung maupun dengan sahabatnya di Swiss. Pujiannya begitu tinggi terhadap Bali. Aneh, kalau kita sebagai orang Bali malah sampai menjelek menjelekan apa yang kita miliki. Jadi, malu lah!
Saya juga menonton podcast ibu muda yang kemungkinan tinggal di Batam. Sebab dalam pembicaraannya ia selalu membandingkan Bali dengan Batam.
Ibu ini juga mempromosikan kelebihan Bali. Ada sejumlah hal disampaikan selama berlibur di Bali. Pertama; di Bali banyak anjing berkeliaran, namun tidak menganggu. Semua anjing apa di depan mall, toko, dagang kecil dan pantai begitu jinak, Anjing juga disebutnya sebagai ramah, seperti karakter penduduk Bali sendiri. Kedua; di mana mana ibu ini menemukan pet shop (toko berjualan makanan ternak). Ini artinya, semua ternak bagi penduduk Bali dipelihara dengan baik, termasuk anjing. Makanannya tidak sembarangan, tapi dibeli di toko-toko modern. Ketiga; ibu ini mengatakan, warung makanan sangat murah. Dengan harga rp12.000 dapat makanan enak, baik membeli pecel lele atau ayam goreng dengan sambal yang begitu uenakk sekaliii. Keempat; sewa kamar hotel atau villa juga sangat murah. Dengan Rp60.000 dapat menginap di tempat yang enak, kasur empuk, ada kolam renang dan sebagainya.(Harga murah ini karena ia ke Bali dalam kondisi covid).
Kelima; Bali relatif bersih dari sampah plastik, sebab di mana pun belanja, pedagang tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai. Ia harus membeli kantong belanja khusus dengan harga delapan ribu rupiah sampai sepuluh ribu rupiah. Ia memuji aturan Pemerintah Bali melarang penggunaan plastik sekali pakai. Kata ibu ini hal tersebut perlu ditiru daerah lain di Indonesia.
Ibu ini mengatakan, kalau di daerahnya sendir. Batam harga makanan cukup mahal. Lingkungan juga tidak setertib Bali. Banyak hal ia membandingkan dengan daerahnya sendiri, yang kesimpulannya bahwa Bali selalu lebih baik.
Promosi lewat media sosial kedua ibu yang saya kutip ini membanggakan. Apa yang mereka katakan: spontan dan pasti jujur. Mereka tidak punya kepentingan apa, kecuali bercerita apa yang mereka rasakan selama berlibur di Bali.
Mari kita jaga Bali, sebab orang lain begitu bangga dengan daerah kita. Alam Bali, manusia Bali dan kebudayaan Bali merupakan asset utama yang perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sepanjang zaman. (*)